Bab 6
Dalam penziarahan cinta, ombak lautan yang
membawanya pergi pada sang kekasih adalah deburan sejati yang mengalir
dari samudera ketulusan hati. Langkah kaki yang diayunkannya, bagai
degup jantung yang menghidupi dan memelihara kekasihnya dari nestapa
dunia. Sedang semerbak untaian kata yang ditebarkan keudara bagai
senandung abadi, yang dinyanyikan bidadari surga.
Dapatkah kemurnian cinta menahan hasrat untuk
membahagiakan kekasihnya?, mungkinkah bulan akan membiarkan matahari
untuk bersinar selamanya tanpa saling melengkapi dan mengisi kekosongan
hari?! .
Telah bermil-mil jauhnya Satria meninggalkan
kerajaan Ansaria menuju kerajaan Tradasia. Selama dalam pengembaraan
tersebut, ia menuliskan kegelisahan hatinya pada daun lontar. Ia susun
kepedihannya itu hingga menjadi gulungan permadani syair nan indah.
“Duhai Tiara ! walau dalam pengembaraan spiritual
ini kau tak disisiku, namun bayang indahmu selalu bersemayam dalam
relung sanubariku”.
“Dari tiap helai dedaunan yang kutingalkan, namamu
selalu tertinggal dan mengakar pada paras bumi. Setiap kulantunkan
syair kerinduanku untukmu, maka burung-burung yang mendengarnya seakan
malu untuk ikut bersenandung”
“Duhai Tiara, dikeremangan malam ini, berpayungkan
temaram cahaya bulan, kulihat sosok bayang indahmu, menyapa halus
sudut-sudut tepian langitku yang senantiasa berbintang”
“Kemudian kulihat engkau mendendangkan lagu-lagu
cinta di puri jiwamu, atau kulihat dirimu berdiri dtepian senja, lalu
dengan sorot mata tajam; sambil menatap langit pucat kemudian mengubah
warnanya- dengan mata yang memancarkan indahnya pengetahuan”.
“Entah berapa banyak hari-hari keputusaanku telah sia-sia berlalu, tuk sekedar mencari bayangan lain selain dirimu.”
“Engkau dan hanya engkaulah bayangan semu yang akrab
diantara kehampaanku, dari mimpi-mimpi malamku, sering kulihat wujud
hidupmu dan menyaksikan jemari lentik putihmu menari diatas dawai
kecapi”.
“Sepasang mata itu telah membangkitkan dan
membimbing begitu banyak impian indah dalam diriku, Aku tak bisa
menghitung berapa kali aku putus asa mencari jelmaan lain dari dirimu”.
“Tiada keindahan yang dapat mewakilkan , kecuali
indahnya sajak-sajak termanis yang tercipta itu,yang bisa dibandingkan
dengan keindahanmu”
“Engkau laksana cahaya bintang yang terus
menyinariku berabad-abad lamanya, Takkala bayangan malam telah datang,
dirimu hadir membukakan pintu jiwa- bagi ruhku, sebuah tempat dimana
semua keabadian terdiam membisu dan segala kepalsuan -terkuak warna
aslinya”.
“Wahai pujaan hati,, dimalam ini aku masih saja
memikirkan dirimu, tak sedikitpun ku mampu tuk pejamkan mata, tak
sedetik pula kau luput dari ingatanku, kuharap engkau masih dapat
tersenyum dan menari dalam genangan airmataku. Dan semoga saja engkau
masih merindukanku walau sekiranya ku jauh dari sisimu ”
“Tahukah engkau kekasih tak ada kelopak bunga yang
merekah ataupun melayu tanpa sepengetahuanku, dan kulihat dirimu
terbaring dalam selubung mawar, Kau terbaring dalam luka lama yang
belum mengering,tanganmu tak lagi bergerak, kau beku dan pucat. Bagiku
saat itu adalah malam gelap tanpa dasar, Jangan pernah menangis lagi
“Cinta”-ku.... Tahukah engkau ...saat aku melihat bintang itu- aku
melihat diriku ada dalam dirimu, dan dukamu juga cerminan dukaku”...
“Duhai Tiara, telah begulung-gulung daun lontar
kutulisi dengan percikan tinta airmataku, dan telah banyak pula
kuas-kuas anyaman hati, kutarik dan kuikat untuk menulisi perihal
pesona keindahanmu…semua ini kulakukan semata-mata untuk mu permata
hati !”.
“Bila ku telah selesai menyusunnya, dari tepian
langit Kerajaan Tradasia aku ingin sesegera menghembuskan pertama kali
untukmu seorang. Sebab dibawah langit inilah, aku menemukan kebebasan
diri tuk melukiskan suasana hatiku, dibawah langit kecerdasannyalah-
mereka dapat menghargai karya-karyaku!”
Telah banyak benang-benang waktu yang terajut dalam
kain kesunyian hari, sudah banyak kepompong sutra yang telah
disinggahi, telah banyak pula kepeng emas dan sanjung puji berhasil ia
kumpulkan. Namun keberhasilannya itu tak membuatnya bahagia, baginya
makna bahagia yang sesungguhnya adalah ketika ia bisa berjumpa dan
menyatukan jiwa dan raganya bersama kekasih pujaannya..
Ia tak mengharapkan sanjung puji karena Tiaralah
satu-satunya tujan hidup tempatnya berlabuh, karena Tiaralah yang telah
menjadi denyut nadi dan juga nafas hidupnya.Wahai dunia nan kejam,
Tiara kini telah jauh dari pandangan mata, melihatnya dari balik tirai
dan mencium keharuman rambutnyapun kini menjadi sebuah kemustahilan,
apalagi dapat membelainya?.
Walau kini banyak emas yang ia genggam, bagai bandul
intan dengan tali yng melilit dilehernya, disetiap keadaan- disetiap
waktu , karena beratnya bandul itu seakan membuat dirinya tenggelam dan
terlena dalam lautan gelap pusara dunia . “Hanya Tiara, hanya Tiara
kebahagiaanku yang sejati!”, ujarnya lirih.
Sayang gadis itu telah ditinggalkannya jauh seorang
diri. Bagaimana mungkin sang terkasih dapat tersenyum kembali, bila
kekasih tak berada disisi. Ia bagaikan sekuntum bunga yang layu walau
hidup diatas tanah yang subur. Cahaya matanya yang biasa bersinar kini
menggantunngkan awan kelam dilangit-langitnya. Dapatkah jiwa memikirkan
sejenak, guna membayangkan cahaya matanya, takkala Si Gadis jelita
itu menyandungkan senandung bait-bait syairnya?.
Bayangan Tiara seperti ini membuat hati Satria
menjadi gundah gulana, walau secara kasat mata ia tak melihat Tiara,
namun gejolak badai yang bermain dihatinya tak dapat ia sembunyikan
sekalipun ia tersenyum. Dalam benderang cahaya hari, ia tetap saja
merasa sunyi walupun sekiranya berada ditengah keramaian kota,dan
membuat jiwanya selalu saja miskin walau sekiranya emas-permata
berkilauan memenuhi tapak tangannya.
Dalam keterasingannya tersebut, Satria menempatkan
jiwanya dalam sebuah gua persembunyian. Ia merasa mendapatkan
kebahagiaan dan ketenangan hati takkala berada dalam kesunyian tersebut
dan hanya dengan kesunyian seperti itulah ia dapat berteriak, tertawa
ataupun menangis menyebut-nyebut nama kekasih, tanpa ada yang melarang
ataupun menghina dirinya.
Ditiap gemirincik aliran anak sungai dan langkah
yang ia lewati, tak sedikitpun waktu yang melintas tanpa pujian bagi
sang terkasih. Bibirnya tak pernah letih dalam bersyair, dan tak pernah
pula membingkai segala doa dan harapan yang telah terpahat dalam hati.
Seakan telah menjadi obat penghalau awan kepedihan dan juga
kekuatannya dalam menapak jejak-jejak langkah kerinduan.
Bila kekasih merindu pada bintang yang bersinar
terang dalam hati, dapatkah kepalsuan cinta menyembunyikan cahaya
indahnya dari hati?, dapatkah bujuk rayu harta dunia membahagiakan
bathinnya selain menambah kepedihan jiwanya ?.
Mungkinkah hingar bingar pesta pora menghilangkan
ingatannya pada sang terkasih selain menambah kesunyian dan
keterasingan hatinya?.
Betapa anehnya bila dunia bila menganggap kemurnian
Cinta, adalah jalan sesat yang membawa pelakunya jatuh kedalam lubang
yang curam dan gelap. Tidakkah mereka sadari bahwa cahaya surgalah yang
membawa dan menuntun mereka, dalam rengkuhan kasih Ilahi.
Dunia boleh memiliki tangan yang kekar untuk
memisahkan keduanya, dunia boleh melingkarkan untaian bukit emas untuk
membelenggu tangan dan kakinya, namun dapatkah dunia melawan kehendak
tangan Tuhan, yang telah menyatukan keduanya- dari keterpisahan ?!.
Bagi jiwa Satria, hanya cintalah yang ingin ia kecap
dan rasakan. Ia tak malu walau dirinya terlihat kumal dan berantakan
karena Cahaya Cintalah yang ingin ia gapai, dan hanya anggur Cintalah
yang ingin ia reguk.
Ia telah mabuk dalam pengembaraannya mencari sang
terkasih. Dalam perjalannya itu tak sedikit manusia yang
mentertawainya, menganggapnya gila serta melempari tubuh sang pecinta
dengan batu dan kotoran.
Mereka tertawa kegirangan ketika melihat sang
pecinta menjerit kesakitan, mereka tersenyum puas manakala darah
mengucur dari tubuhnya yang terbungkus balutan tulang- belulang.
Mereka menutup hidung dan membuang pandangannya
ketika sang pecinta lewat, namun pada saat yang sama menangisi
suara-suara surga yang mengalun merdu dari bibirnya, serta mendekap
bayang-bayang sang pencinta di kesunyian malamnya..Ketika kesunyian itu
lebih dalam lagi, mereka mengejar sang pecinta hingga keatas bukit
lalu merentangkan tangan kasihnya sebagai seorang sahabat.
Oh betapa anehnya dunia dan betapa malangnya nasib
pecinta ini, ketika ketersendirian membaluti tangkai harinya dengan
kegersangan, maka keluarlah senandung kelembutan hati nan indah yang
mengalun dari kerongkongannya yang dahaga.
“Duhai Tiara, aku telah berusaha meraih harta dunia
untuk menggapai cintamu, namun kini telah kusadari bahwa Cinta itu
ternyata lebih mahal harganya dari sekedar harta dunia!”. “Aku telah
bahagia menjadi aku dengan segala aku, aku takkan memaksakan kehendak
untuk menjadi seseorang yang bukan diriku!”.
“Inilah aku Tiara, ketika manusia mentupi hidungnya
ketika berjumpa denganku, sedang dirimu maukah kau sejenak duduk
disampingku sambil menebarkan keharuman rambutmu untukku?.
“Mampukah keshalehan dirimu mendoakan suatu
kebaikan, bagi diriku yang malang ini?, dapatkah bibir merahmu
mengalunkan syair-syairku sebagai penguat langkah,penyembuh kalbu?!”…
”Duhai kekasih, tetaplah bersemayam dalam hatiku,
hiasilah hariku ini dengan senyum indahmu yang menawan. Sentuhlahlah
luka yang menganga ini dengan lentik jemarimu yang halus, lalu basuhlah
darahnya dari kain ketulusan, yang telah kita rajut bersama -dari
benang jiwa.”
“Medekatlah cintaku, janganlah merasa malu bila
berada disampingku.Bertandanglah barang sejenak dihutan-hutan
kesunyianku. Reguklah kesegaran mata air yang mengalir dari
sungai-sungainya. Sapalah kehangatan surya yang bersinar teduh dari
balik rimbun pepohonannya.”
“Di hutan rimba ini begitu indah kasihku, angin
berhembus, daun bergoyang, burung berkicau riang. Dikesunyian ini tak
pernah aku mendengar suara ratap tangis, dalam hutan yang rindang ini,
tak pernah aku melihat manusia tergeletak karena lapar.Betapa inginnya
aku menceritakan ihwal keindahan ini kepadamu, dan seandainya saja
kita dapat melewatinya bersama!.”
“Wahai Tiara, aku tahu saat ini engkau hidup bagai
merpati yang terpenjara dalam kurungan emas sanak keluarga yang
mengasihimu , namun dapatkah kau sejenak melihat keterasinganku ini?!,
dapatkah dua bola indah matamu membuka dan melihat kehidupanku yang
nestapa?, Mungkinkah senyum indahmu membasuh kepedihan hatiku. Dapatkah
ketulusan cinta mu membangkitkan jiwaku yang telah lama mati?. Tahukah
kau kekasih, dengan langkah gontai; terlunta-lunta aku menyusuri
padang kesunyian tanpa seulas senyum sedikitpun menyapa diriku. Mereka;
orang-orang beradab ini menjauhiku, menganggapku hilang ingatan ,
menghardik dan menista diriku, seolah aku ini sampah yang menjijiikan;
hantu yang menakutkan. ”
“Duhai kekasih hati, Cinta telah mengikat jiwaku dan
menyimpulkannya dengan benang jiwamu. Dalam rajut ketulusan ini, aku
memohon padamu, agar senantiasa menjaga kain kesucian cinta dari
tangan-tangan kotor yang hendak menjamahnya. Jangan kau biarkan
gunting-gunting nafsu dan kancing kemewahan dunia menggadaikan kain
kebersahajaan kita”.
“Duhai belahan jiwa, biarlah dirimu kukenang sebagai
sebuah telaga yang selalu menghilangkan dahaga jiwaku. Biarlah
keteduhan binar matamu memayungi hari-hariku yang penuh nestapa. Dan
biarkan pula hembusan angin membawa keharuman rambutmu sebagai nafas
penopang raga. Biarlah semua terbingkai dalam hatiku ini, sehingga dari
balik linangan airmata, kudapat menjalani hari-hariku dengan indah dan
penuh warna kebahagiaan.”
‘Wahai pohon cemara yang bergoyang, engkau adalah
sebuah menara yang menjadi saksi bagaimana cinta telah mematahkan
segala harapanku, dan menyiksaku dengan hujaman ayunan kapak agar
dengannya aku tunduk dibawah kaki aturan adat dan kemuliaan dunia.
Walaupun demikian ku senantiasa tersenyum padanya, dan kuyakin dengan
senyumku ini, putik-putik hatinya dapat merasakan kebahagiaan walau
dirinya berada jauh dari sisiku. Dan aku akan selalu mengenang
keberadaan cintanya, seolah ia sendiri berdiri dihadapanku, menyapa dan
tersenyum padaku walaupun sekiranya ia jauh.”
“Wahai Penguasa kalbu, dari dekapan erat jemari
kasih sayang keluarganya., biarkanlah api cinta selamanya berpijar
serta memancarkan cahya kasih dalam lilitan sumbu lentera hatinya.
Payungilah sang pecinta dari panasnya dunia, siramilah bunga-bunga
cinta yang telah tertanam dalam jiwanya agar selamanya bersemi,
mengharumi hari serta menghiasi kehidupan lelaki lemah ini dengan
keindahannya.Teguhkanlah hatinya,Ya Rabb supaya sang pecinta dapat
menjaga kebun-kebun cintanya yang telah tersemai.”
“Ya Allah, Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, anugerahkanlah Tiara padaku serta dekatkanlah hati dan
jiwanya untukku. Engkaulah Ya Rabb, Yang Berkuasa penuh atas segala
catatan takdir makhluk-makhlukMu dari awal hingga akhir kehidupan.
Semaikanlah putik-putik kebahagiaan kedalam taman hatinya, kuatkan dan
tentramkanlah hati sang pecinta dari kegelisahan dimalam tak berbatas
dan bertepi ini. Anugerahkanlah kesejukan dan ketenangan bathin dimalam
ini kepadanya, yaitu dia yang terus merentangkan jubah kasihnya;
serta mengingat cintanya saat orang lain terlelap tidur. Dan dia yang
bagaikan bunga matahari, menundukkan tangkainya -sujud mencium bumi, dan
berdoa,bermunajat pada-Mu untuk kebaikan serta kebahagiaan hidupku.”
“Tuhan, dalam letihku ini…aku menghaturkan doa
padaMu, disaat tubuhku melemah dan pendanganku menjadi kabur, aku
memohon dengan kekuatanMu, ringankanlah langkah kaki sang Mutiara hati,
untuk menemui diriku yang lemah dan tak berdaya ini. Wahai Penggenggam
hidup, apalagi yang mesti kuperbuat, bebaskanlah aku dari lilitan
derita. Sandingkanlah jiwaku dengannya dengan kekuatanMu. Lalu
hidupkanlah jiwaku yang mati dengan cahya kasihMu, hindari serta
selamatkanlah aku dari perangkap kematian, yang sengaja dicipta dan
dipasang untuk melukai diriku. Kini selagi ia berusaha mendekati pijar
jiwaku, maka pulihkanlah tenaga dan kekuatanku agar ku dapat pula
melangkah menemui pujaan hatiku.”
Mendengar senandung yang begitu indah, alampun
menekukkan tubuhnya dalam keharuan. Sesaat burung-burung berhenti
berkicau. Matahari yang biasanya tersenyum dibalik awan, kini telah
menyembunyikan muram wajahnya dalam kelambu awan kelabu. Langit nan
cerah mendadak bermuram durja, hingga menitikkan airmata duka.
Hanya kesejukan udara yang mungkin masih setia
memberi keharuman mawar dalam rongga dadanya yang sesak. Dalam hembusan
tulusnya, sang angin seakan ingin mengingatkan diri agar dirinya
selalu tersenyum, dari indah putik indahnya -seakan hendak mengingatkan
sang pecinta agar selalu ceria dan melupakan sejenak segala resah
hatinya.
****
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Beny Hidayat
Karya : Hartono Beny Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar