Jumat, 16 November 2012

Bab 1 Roman Satria-Tiara

Bab 1

Kubah langit begitu cerah, bulan nampak tersenyum simpul berselimutkan kerlip sunyi bintang-gemintang. Sedang angin malam berhembus tenang membawa nada-nada kesejukan kedalam hati.
Terlihat dari kejauhan sebuah bangunan tua berpekarangan luas; tinggi menjulang kokoh laksana sebuah kastil, dengan sisi-sisi dindingnya yang nampak berlumut dan berlubang akibat termakan usia.

Sarang peraduan itu bertingkat dua, dipintu masuknya mengapit dua buah patung berbentuk malaikat kecil yang terlihat begitu indah manakala terterpa cahaya bulan. Patung pualam itu begitu menawan, keindahan sorot mata dan kepak sayap kecilnya, seakan hendak menyapa ramah setiap tamu yang hendak bertandang.
Saat kaki memasuki pintu gerbangnya, terlihat beberapa tiang penyanggah atap berdiri kokoh menjulang bak tombak Julius Cesar. Kemegahan itu belumlah cukup dengan adanya beragam guci cina, patung-patung marmer, serta lampu-lampu hias yang berpendar indah menghias dan menerangi seisi ruangan.
Bangunan tersebut memiliki beberapa bilik; bila kita susuri anak tangganya-terdapatlah sebuah ruang perpustakaan yang memuat ratusan buku. Dimana salah satu ruangan ini dihuni oleh seorang pemuda yang tengah asik berkutat dengan buku-buku, dari keseriusannya -tampaklah bahwa ia sedang tenggelam didalam arus samudera pemikirannya yang dalam.
Bertemankan cahaya lilin yang bertempur melawan kegelapan, pada sebidang meja; dengan tumpukkan buku ditiap sisinya, sesosok pemuda tengah sibuk mengayunkan pena bulunya, sesekali  ia tampak menengadahkan kepala, lalu menuangkan isi hatinya pada secarik kertas …
“Wahai Cinta,
Engkaulah sumber  inspirasi , yang  membuat jiwa bak seorang pelukis,
Seorang pelukis  yang tak memiliki gambaran  tentang konsep akhir dari sebuah lukisannya,
Ataupun penjabaran universal dari lukisan yang ia buat,
Namun sang pelukis memahaminya,
sebagai karya lukis yang mengandung nilai ekstetik,
kehalusan sapuan kuas serta kombinasi ragam warnanya ,
menciptakan sebuah keutuhan harmoni .
Dengan berbingkai akal serta sinergi kanvas kemanusiaan .
Sebuah ide kecil tercuat,
perihal “kanvas” dan sesuatu yang berada diatasnya,
Inilah peradaban besar yang dicitakannya,
Inilah mimpi-mimpinya ! “

“Pernahkah kau menderita karena cinta?, pernahkan kah kau tersiksa dalam penantian?”….”Aku pernah…..dan aku pernah juga merasakan indahnya Cinta!”.
Laksana bergantinya hari, dari gelap menuju terang, bagaimana engkau dapat tahu manisnya madu kebahagiaan kalau engkau sendiri belum tahu pahitnya empedu penderitaan.”
"Tahukah kau sahabat.....Hari kemarin- hingga saat ini aku menulis, aku tak tahu harus kuisi dan hendak kemana surat jiwa ini kukirim. Bukankah bahasa hati tidak memerlukan rangkaian huruf, bukankah lembaran jiwa ini dapat terbaca- walau sekiranya tak ada tulisan diatasnya ?”
"Bagiku Cinta laksana buah hati yang abstrak, Pohon jiwa yang tak henti berbuah, hadirnya laksana Cahaya abadi  yang mengikis kegelapan malam. Mengubah dasar-dasar  pemikiran , menanggalkan kesedihan , basahi keringnya dahaga jiwa , menggantinya dengan percikan mata air surga”
"Maukah kau katakan pada Sang jiwa, apa yang telah dilihat oleh mata saat itu ?” “Dilihatnya bidadari memainkan harpa, denting-denting cinta mengalun merdu dari lentiknya, menyandungkan bait-bait cinta dari  bibir merahnya”.
"Cinta datang bersenandung dalam tangisan suka- cita , Ia datang tanpa diundang atas nama kasih semesta, untuk menghampiri setiap insane, agar dapat mensucikan jiwa“,
Manusia terjaga untuk menyambut atau memalingkan panggilan sucinya, Selalu terjaga Ia dalam pembaringannya yang getir , tertawa dan menangis ia dalam  keheningan malam yang bisu”...
“Dan ketika aku mengagumi indahnya kecantikan, aku hanya dapat memujinya, tidak pernah hati ini berhasrat ataupun bermimpi untuk memilikinya , karena aku tetaplah jiwa yang kerdil.”
‘Telah bahagia kurasakan dari kegelapanku yang getir, bila jiwaku mampu mengukir dan menghampiri keindahan , yang hakikatnya keindahan-keindahan tersebut tidaklah pernah kumiliki’...
‘Aku hanya sekedar memastikan pada jiwaku, bahwa keindahan-keindahan itu tetap ada- tetap hidup serta bersemayam dalam kesunyian jiwaku, sekiranya jiwa itu harus merangkak dalam selubung kabut kegetiran ataupun berada dalam kematian panjangnya’.
‘Duhai kekasih…dari kegelapanku yang tak bertepi dan berdasar ini kasihani dan maafkanlah jiwaku, maka ijinkanlah aku memasuki kelapangan dan kebijaksanaanmu, ijinkanlah aku meneguk  air- dari sumur jiwamu,  engkaulah terkasih!… pemilik satu-satunya tetes  air- bagi dahaga jiwa’
‘Disaat dinding jiwa ini tak memiliki kekuatan atau cahaya yang menyelimutinya , hidupku seakan-akan berada dalam kotak yang sempit, tak pernah lagi kurasakan indahnya kesegaran pagi ataupun heningnya keindahan malam’ ...
‘Bagiku bergantinya hari dari terang- menuju kegelapan adalah sama , karena hatiku telah terkunci , mataku telah buta, bibirku membisu dan ragakupun telah lumpuh oleh belenggu-belenggu yang memeluk-ku erat’....
‘Dalam sebuah rumah pengharapan -pelita bagi pembaringanku yang getir ,jiwaku terkapar sekarat, dengan sisa nafas kehidupan- kugerakkan tanganku yang lemah kearah langit, seakan-akan ada sebuah cawan air harapan serta sepasang sayap cinta yang mengangkat dan menyelamatkanku dari kegelapan ini’....
"Dalam kesendirianku itu kudapati Cinta berbicara dengan hati lainnya dengan bahasa yang berbeda, begitu besar makna keagungan cinta seakan tak ada ungkapan yang pasti didalam melukis hakikatnya. "
"Hati sang pencinta akan terus berbicara dengan hati pecinta lainnya. Sekalipun mata lahiriah tertutup, namun jiwa menyakini bahwasanya tak akan ada yang sanggup menutup mata hati, kecuali keagungan Cinta itu sendiri".....
"Saat Cinta hadir didalam sanubari, ia akan berputar laksana sebuah roda, Cintalah yang menghadirkan setangkup bahagia dan juga deraian airmata. Ia akan terus berputar  mengelilingi ruang-ruang hati  seakan tak memiliki awal maupun akhir didalam sebuah perjalanannya".
“Cinta hadir laksana tarikan dan hembusan nafas semesta. Bagiku Cinta adalah sebuah pengorbanan , tapi bukan untuk dikorbankan.”
“Dahaganya adalah dahaga cinta, airmatanya -mata air cinta , walaupun cinta itu harus tertatih ataupun berkalang tanah  serta binasa, maka cinta sejatilah yang bertahta”.
“Cinta adalah ramuan kesembuhan, Cinta adalah senandung hidup, disaat benih-benih cinta tumbuh subur diladang-ladang kasih Ilahi, ditanganNya- lah kehidupan dan kematiannya”
"Begitulah  cinta yang pertama kali ku rasakan, ku dibuat buta olehnya, kudibuat hidup dan  terbakar oleh panas teriknya ,dialah racun yang melumpuhkan dan aku tersihir oleh keajaibannya !"
"Lalu kudapati bahwa suara hati dan pesona jiwa seorang Pecinta- berawal dan berangkat dari kepedihan hatinya, dan dari kepedihannya itu; ia membalutnya dengan cinta, maka tersingkaplah selubung kegetiran jiwa lalu menggantinya dengan percikan airmata bahagia."
“Pernah aku letih mencari kesejatian Cinta dan makna dari kehidupan yang singkat ini....laksana sebuah perjalanan yang seolah tanpa akhir, ketika segala resah merasuk dan galau menyelimuti diri, aku hanya bisa menahan nafas , jiwa ini merintih dan terkapar, menggigil dalam kebisuan malam. Aku hanya terdiam, aku mengharap kehadirannya merupakan suatu perjalanan “terakhir” yang singgah didermaga hatiku.
“Aku melihat ‘bahtera tua’ itu telah letih, seolah semua samudera ia telah dilintasi, seolah segala rute perjalanannya berlalu tanpa irama, melintas dan hanya melintas, tanpa ada nahkoda ataupun ataupun derai tawa bocah yang mengiringi perjalanannya”.
“Entah kenapa bahtera itu kini hanya ingin dilihat,  ia mengharap suatu saat kelak- masuk galangan,  Walaupun sekiranya terkurung dalam ruang yang terbatas namun ia memiliki teman, bersama bahtera lainnya yang lebih dulu ada- mereka saling berbagi tempat dan cerita. “
Ketika aku sedang berada disebuah dermaga, aku bercerita dengan bahtera lainnya,
“Aku lelah mengangkut segala tentang ‘ada’ ataupun ‘tak ada’ dari seorang manusia”.
“Aku mengharap didepanku merupakan sebuah pelabuhan terakhir tempat dimana ku dapat beristirahat dan singgah dalam waktu lama”.
****
Begitu banyak pergantian musim telah dilewati, namun tanpa kehadiran Cinta; semua berjalan seolah tanpa makna. Bagaimanapun juga air sungai kelak akan bermuara ke laut, sedang penderitaan hatinya; kepada siapakah hal tersebut dapat dibagi?.Kemanakah belahan hatinya kini berada?.. Mungkinkah akhir segala resah akan bermuara kepada kebahagiaan?.
Tidak ada sebuah kepeningan yang begitu hebat selain kepeningan dalam cinta. Tak ada tabib yang dapat dengan mudahnya memberi kesembuhan atas penyakit -yang disebabkan cinta, selain kehadiran si pemberi penyakit.
Dalam kegalauan hati tersebut si pemuda ternyata belum mendapat makna yang tersembunyi dibalik kejadian itu semua, namun yang kini ia rasakan bahwa tanggannya telah terbelenggu , matanya telah buta dan bibirnya terkunci. Ia telah hanyut dalam palung samudera perenungannya, darahnyapun telah tercemar oleh racun dan juga madu sari pemikirannya sendiri.
Sejak saat itu konon kabarnya ia lebih menyukai ketersendirian, dimanapun ada riuh keramaian,  jiwanya tetap saja merasa sunyi. Baginya bergantinya siang kemalam ataupun sebaliknya adalah sama.
Bumi sang terkasih , ibunda kasih dimana permadani kehidupan tumbuh menghampar- telah mengucap janji setia pada Sang penyair, berikrar untuk selalu menemaninya dikala sunyi, menjadi sahabatnya dikala hampa:

Wahai penyair !,
Kurelakan jiwa ini , menahan pedihnya goresan tinta yang kau toreh diwajahku,
Kubiarkan pula api,  membakari seluruh ruang jiwaku,
karena Sang  terkasihlah aku memiliki kekuatan,  dan karena ia- pulalah aku ada.
Melihat bumi kekasih tercintanya menangis, tampak bulir airmata- menetes dari pipi sang penyair,  maka keluarlah syair  pengharapan dari bibirnya yang kering  :
“Duhai bumi kekasihku !,
ada ataupun tak ada, dirimu disisi -bagiku adalah sama!
Disaat dirimu hadir, denting kecapi mengalun dihatiku.
Engkau laksana cahaya bintang yang menghiasi malam sepiku,
Takkala senyummu hadir, Sejuk terasa dihati, walau kegetiran  terasa dalam misteri...
Dibalik awan  yang mendung- kulihat matamu yang indah, memancar penuh kedamaian,  dikedalaman  jiwaku.
Ketika rintik hujan membasahi bumi,  rintiknya basahi bunga-bungaku yang bersemi didasar hati.”
****
Begitulah sekilas kegiatan keseharian Sang Pencinta, seorang penyair lokal yang cukup disegani dari suku Andasia , ibundanya bernama Sekar dan ayahandanya bernama Syahbana, seorang pedagang yang berasal dari timur, ia banyak menghabiskan waktunya dengan berdagang, sehingga keluarga lebih banyak ditinggalkannya - hingga hitungan bulan bahkan tahun.
Pemuda itu bernama Satria dilahirkan pada masa Raja Nalendra. Ia berkembang tidak sebagaimana lazimnya anak-anak yang  lain .Kehidupan masa kecilnya begitu unik. Disaat  anak-anak sebayanya senang bermain-main dengan bonekanya , maka ia lebih senang mengamati hewan dan tumbuhan yang ada ditaman. Sang ibu kerap dibuat bingung oleh ulahnya. Maka perempuan itu mendatangi tetua suku, agar anaknya dilindungi oleh ajimat yang dapat menjaganya dari berbagai bala.
Satria tumbuh menjadi anak yang cerdas dan periang. Kakeknya banyak mengajarkan padanya perihal kesusasteraan dunia, kesemua peninggalan buku-bukunyapun diwariskan kepadanya. Tidak hanya itu saja, iapun disekolahkan kepada seorang guru terpandang didesanya.  Berkat pendidikan dan pengajaran itulah maka ia piawai menggubah syair-syair dan madah cinta.
Ia terkenal sebagai anak yang ramah, penurut dan berbudi baik, wajar apabila ia memiliki banyak teman.
Setelah berumur dua sebelas tahun Satria ditinggal pergi ibunya untuk selama-lamanya, dan ia diasuh oleh sanak kerabat keluarga ibunya. Dalam ketersendirian dan keterasingan tersebut ia hanya mencintai dua hal : yaitu menulis syair dan memadu kasih dengan kekasih khayalnya, tak pelak lagi bila tak ada waktu dan hari melintas dalam benaknya selain menuliskan bait-bait syair, yang kesemua gubahannya itu dinisbatkan kepada “Seseorang” yang selalu hadir dalam tiap perenungannya diwaktu siang serta membuatnya selalu terjaga dikala malam.
Kepada siapakah gerangan syair-syair itu ditujukan?!…Duhai betapa beruntungnya gadis yang menjadi sumber inspirasinya itu,….namun tiada seorangpun yang mengetahuinya, begitu juga dengan ayahandanya, begitu pula para kerabat dekatnya.
Mereka para handai taulan- hanya sekedar mengapresiasikannya saja, dan memaklumi berbagai ulah gilanya, sebagai bentuk perilaku seseorang yang sedang melewati masa akil baliq.
Bahkan tidak sedikit diantara tetangga ; ataupun para kerabat yang telah menuduhnya sebagai seorang yang telah lupa ingatan akibat sihir cinta.
Maka dari itu -ia pun  bersyair,  kepada mereka-mereka yang telah menganggap dirinya telah lupa ingatan, seolah duduk pekara kesemuanya itu , bersumber dari penderitaan cintanya yang tak berbalas  :

Bahwa  hati mempunyai bahasa yang lain ,
Jiwa yang tak paham akan menganggapnya gila,
Jiwa yang memiliki batas pengelihatan akan sia-sia.
Dilihatnya mata air, adakah jiwa dapat melihat nestapa air - ketika menembus kegelapan?! …

Cinta sejati adalah cinta yang membakar keegoan diri, laksana sebuah cawan perak yang patuh walau tertempa sebuah besi panas, pesona keindahannya-pun mampu melumerkan segala macam bentuk rantai besi yang membelenggu diri .
Sebuah ungkapan menyatakan “Cinta datang dari mata turun kehati“, namun diri menyakini bahwa pandangan bukanlah satu-satunya jalan yang dapat menghadirkan indahnya getaran dawai kecapi cinta - yang bersenandung dalam bilik hati.
Bagi Satria Cintalah satu-satunya  -cahaya pemilik jiwa, Sang Jiwa Pencinta akan terus hidup dalam keabadian, Pemilik abadi dari berbagai ramuan dan mantra ajaib, yang dapat menyembuhkan segala duka lara.
Begitulah saat itu, entah darimana datangnya, tiba-tiba saja hari-harinya kini dihiasi rangkaian bunga Cinta masa muda !…..didalam kebingungan dan kepolosan jiwa, Sipemuda menciptakan kekasih khayalan bagi jiwanya yang sepi, seolah mereka hidup dalam dunia, dan bahasa kalbu yang sama. Dikeramangan malam, sebuah syair disenandungkan Satria kepada kekasihnya itu:

Disaat ku terjaga dari tidurku ,
Dirimu hadir diantara bintang-bintang  yang ingin kutemui
Kunyalakan lilin, di istana gelap hatiku
Lilin api yang berpendar cahaya kasih,
Ibunda cahaya dari segala cahaya - yang menceritakan segala tentangmu dan tentangku.
Kuambil secarik kertas
Kutulis,  lalu  kucurahkan semua yang ada dihati.
Engkaulah yang menuntun penaku agar  berbicara dengan bahasa hati
Duhai kekasih,
Kucipta puisi terindah untukmu,
Walau dirimu belum hadir sepenuhnya , namun kuyakin -hatiku dapat merasakannya ,
Getaran ghaib itu, dapatkah hati merasakannya ?!
Puisi, petikan gitar dan syair lagu..semuanya, yah semuanya yang ku-punya...
Aku mendedikasikannya untukmu ,
Karena  Kaulah semua ini tercipta.

‘Dari ketersendirianku yang mencekam, dari malam-malam yang melintas tanpa bintang, kembali aku menggubah  sebuah syair kerinduanku untukmu :

Cinta yang terlahir bersama rahasia malam,
Menghadirkan ketulusan dan keabadian cinta yang dalam,
Laksana dalamnya samudera,
setinggi bintang dan seluas angkasa,
Cinta yang kubawa adalah cinta  yang kuperas dari serat jantung dan tinta airmata ,
Menghidupi hati nan kering lalu  menjelma menjadi sebuah mata air -penghapus  kerinduan.
Keindahan yang dapat membuat seorang bahagia walau ia berada dalam selubung ketiadaan;
Membuat jiwa merasa teduh dalam damai,  sekiranya badai dalam jiwa sedang berkecamuk.

Dan bukanlah kehidupan seorang penyair bila ia tidak berdiri didua sisi ketajaman mata pedang. Karena demikian besar pengaruh kewibawaan ayahandanya sajalah, yang membuat dirinya terpelihara dari fitnah serta gunjingan  masyarakat sekitarnya.
Dalam jalan kehidupan , bukan duri saja yang melintang diatas permukaannya, melainkan adapula bunga-bunga yang tumbuh subur diatas tanahnya, dan tidak sedikit pula yang memuji ,menghapal serta menulis berbagai riwayat- ratusan atau bahkan ribuan syair-syairnya , sebagai suatu bentuk cinta dan penghormatan baginya .
Kepada mereka-mereka yang memujinya secara berlebihan ia bersyair :
Lebih baik kalian melempariku duri ,
daripada kata-kata madu - yang kelak  menikam  laksana pedang yang tajam
Dan  aku bukanlah bintang yang menerangi gelap malam bukan pula daun kering yang berserak tertiup angin .
Aku adalah seorang pengembara yang sedang menyusuri dan mencari pelangi dibalik kabut hitam. Yang hendak kujumpai diujung harap adalah lentera jiwa, Obor kehidupan yang menerangi ditiap langkah
‘Aku berlayar dan aku pergi , mengarungi dan melintasi luasnya samudera kehidupan- bersama angin kehidupan aku berkelana ,
tetapi bukan berarti kepergianku tanpa arah tujuan’ .

Kini jemari kelembutan angin malam telah menyapa mata sang pemuda , kepenatan telah memanggilnya untuk beristirahat, diatas kertas-kertas keabadian itulah, ia menyandarkan kepalanya; dibahu meja kebersahajaannya- ia merebahkan tubuh…
www.duniasastra.com
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Beny Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar