Bab 4
Buah waktu telah memasuki kematangannya yang ketiga
dimusim penghijau. Dihari persemian indah itu; kedua pecinta berupaya
tuk menyemai janji di sebuah taman yang berada ditepian danau belakang
pojok istana.
Taman peraduan kasih itu begitu lapang. Dipagari
oleh aliran air, beragam pesona warna bunga tumbuh subur dan menebarkan
harum diatas permukaannya. Sedemikian cantik dan jernihnya taman itu,
sehingga mustahil apabila ada sebuah jiwa yang berhasrat meninggalkan
taman itu, sebelum memasuki pekarangannya. Dan tak mungkin pula ada
jejak langkah yang dapat masuk ataupun keluar darinya, tanpa
menyeberangi permadani kayu yang digunakan juga sebagai pintu
gerbangnya.
Tepat disisi tepi badan danau, Satria menghentikan
laju kudanya. Berseberangan arah dengan tempat ia berdiri, tampak Putri
Raja sedang memotong kata dan merajut canda dengan beberapa
dayang-dayang istana.
“Hai, pemuda asing ! Bagaikan gemuruh angin berani
sekali kau mengusik ketenangan kami !, Tahukah engkau siapa yang akan
terguncang akibat keterusikannya ?. Dengan sebuah pekik gema terompet
hati , aku bisa mendatangkan seribu prajurit Ansaria untuk
menangkapmu!”….
Kemudian sosok asing yang berada ditepian danau itu
berkata,“Ku pasrahkan diri untuk tertangkap jaring-jaring Cinta, karena
kuyakin dengannya Cinta akan membebaskan diriku yang lemah dengan
mengikat jiwaku pada ketabahan serta keteguhan hati !”, ucap Satria
sambil tersenyum.
“Bila ia kumbang maka memiliki nama, sedang engkau
siapakah namamu?; lalu darimanakah kau berasal?”, tanya Tiara. “Atas
kehendak apa kepak sayap cintamu menuju kesini ?!. Berterus-teranglah,
siapa tahu jemari kebijaksanaanku dengan tulus akan mengampunimu. Lalu
membiarkan engkau pergi melintasi awan dengan selamat !”
“Hamba seorang penyair dari suku Andasia, namaku Satria kedatanganku kesini untuk menangkap kalian semua!”
“Oh, berani sekali kumbang ini menggoda kami!,
tidakkah sayapmu kan bergetar seandainya saja aku benar-benar memanggil
sekelompok lebah itu dengan segera?!” pekik Sang Putri sambil
tersenyum.
“Wahai pemata hati!”, ucap Satria dengan
lembut.”Hamba tak takut terhadap ketajaman mata pedang manapun, kecuali
ketajaman pedang Kehendak Yang Kuasa !”
“Hm, menarik juga pendirianmu. Baiklah. aku takkan
memanggil lebah-lebah itu, dan kau dapat menangkap kami kalau memang
mampu !. Tapi berjanjilah tidak dengan hunusan pedang, namun dengan
bersyair!”. “Kalau kau menang, engkau boleh membawa keharumanku. Kalau
kau kalah, engkau harus bersedia menjadi hiasan tamanku, setuju? ”
“Daulat Putri Raja !, hamba berjanji takkan
menggunakan pedang ataupun cara kekerasan. Dan hamba juga akan
menangkap Tuan Putri, tanpa bersyair. Apabila hamba nanti gagal, segala
kepak sayap keindahan yang hamba miliki kan kuserahkan semua pada Tuan
Putri, begitu juga dengan nyawa hamba. Tetapi kalau hamba berhasil,
Tuan putri akan hamba bawa untuk dijadikan istri !”
Tuan Putri membelalakkan kedua kelopak matanya, yang
justru nampak cantik di mata Satria. Dengan sedikit anggukan kemudian
memberi isyarat kepada dayang-dayang untuk menurunkan jembatan agar
dapat dilalui sipemuda.
Dengan memakai jubah penyamaran yang hebat, dengan
bantuan Tiara beserta dayang-dayangnya, Satria berhasil memasuki taman
yang dikawal ketat pengawal istana. Setelah berada didalam taman, Sang
Putri menitahkan salah satu dayang-dayang pengiringnya, untuk
mengantarkan kuda Satria menuju sebuah istal. Sedangkan Satria dibawa
menuju kesebuah ruang pertemuan yang megah. Sebuah bangunan yang
terpisah dari bangunan induk istana yang penuh dengan hiasan lilin
serta rangkaian bunga yang tertata dengan apik dan menawan.
Setapak kemudian dengan tetap menjaga kehormatan
diri, bertemulah kedua pecinta yang sejak lama memendam rindu, sedang
dayang-dayang menunggu dan berjaga diluar guna melihat-lihat situasi
keamanan.
Disaat keduanya telah mendekat satu sama lain,
sedekat dua putik diantara dua bunga, angin kerinduan membawa jemari
kasih mereka pada penyatuan. Keharuman semerbak mawar dimalam itu,
seolah menyandungkan nafas cinta dari bibir kedua pecinta.
“Banyak bunga-bunga cinta layu sebelum merekah, ada
yang terindah tapi wanginya tak selalu seindah bentuknya, atau bahkan
mungkin ketajaman durinya akan menusuk dan melukai hati.”
“Walau demikian ia takkan pernah jera, baginya
sebuah Tameng yang telah terbiasa tergores pedang cinta, takkan takut
lagi bila harus tertusuk duri cinta. Begitu juga suratan nasib,
ketetapannya pasti berlaku untukku, dengan menganugerahkan sebentuk
sapuan wangi bunga; yang kelak harumi hari-hariku dengan hembus
keharuman cinta kasih.”
“Wahai Cintaku, engkau laksana kilau cahaya bintang
yang melintasi malam sepiku. Kehadiranmu laksana hujan berkah dari
kesucian langit yang menghidupi pohon layu jiwaku dengan senandung
airmata kebahagiaan. Takkala dirimu muncul diantara kabut mega, paras
indahmu bagaikan setetes embun yang menyejukkan kesegaran pagi. Tanpa
kehadiranmu mungkin saja kupu-kupu enggan mengepakkan sayapnya,
bunga-bunga enggan merekah begitu juga surya enggan bersinar, karena
engkaulah nafas keharuman ; mata air kehidupan”
“Dikala dirimu tersenyum, berhentilah perang;
terhapuslah luka. Karena engkaulah cahaya ghaib yang diutus kedunia.
Sihirmu membuat tatanan dunia menjadi terbalik, aturan menjadi tak
berarti, hukum dan hakikat menjadi semu “
“Cinta itu sesuatu yang ganjil, datang secara
tiba-tiba ; mengisi kesunyian ranting-ranting jiwa, membuat dahan hati
kian berbunga ataupun mati terbakar oleh panas-teriknya”....
“Saat dirimu hadir dikedalaman sanubari, aku tak
tahu, kenapa diriku tak dapat melepaskan bayangmu dari jiwaku.
Engkaulah satu-satunya bayangan semu namun juga nyata yang bersemayam
dijiwaku dengan segala keajaibannya. Engkaulah keindahan yang membuatku
-tak lagi mampu memejamkan mata”
“Bagiku, tanpa memilikimu-pun aku sudah merasa
bahagia, sudah bahagia kurasakan , bila kudapat menikmati keindahan
sinar mata hatimu, karena engkaulah sumber inspirasi yang membuat
seonggok patung marmer menjelma menjadi seorang pujangga cinta”....
“Engkaulah titisan dewa-dewi yang membuat
anyaman-anyaman permadani diistana jiwaku, merdu suaramu bagaikan
alunan kidung surgawi ; mengalir manja penuh kelembutan direlung
jiwaku”.....
Sambil menatap paras langit, Satria menebarkan
kembali semerbak harum untaian syair-syairnya ,"Wahai senandung malam
!...Salahkah bila jiwaku terbang kedalam jiwanya, lalu membisikkan
sajak-sajak termanisku untuknya ?!" " Salah kah bila insan yang lemah
ini, mencoba mengetuk hatinya lalu menawarkan cinta yang "beda" dari
cinta lainnya?!"...." Salahkah aku wahai kaum pencinta , bila diriku
yang papa ini mencintai seorang putri raja ?!"....." Salahkah aku wahai
peri , bila diriku masuk kedalam jiwanya , membaca pikirannya , lalu
bernyanyi serta bernafas dalam tarikan dan hembusan yang sama ?!"
Dewi malam berbisik kepadaku, "Hanya keajaiban
sajalah, hal gila itu dapat terwujud !....Namun aku merestui
kegilaanmu anak muda !....’Engkaulah Pejuang Cinta yang paling gila
yang pernah kulihat dan kutemui !’....’Dari kekerdilanmu, aku bisa
melihat kebesaranmu, dari kemarahanmu aku bisa melihat kasih
sayangmu’....’Dari kegelapanmu , aku bisa melihat cahaya
terangmu’.....’Engkaulah sumber penaklukan beragam jenis cinta yang
lahir bersama ketulusan hati...jurus-jurusmu mematikan setiap dara yang
melirik, yang membuatnya terbuai dalam alunan syair merdu serta
menerbangkan jiwanya , kesebuah alam perasaan- yang tak bertepi dan
berdasar"
"Aku tak jemu-jemu,untuk membaca dan memikirkan
kisah-kasihmu itu....sesuatu yang terindah , sebuah wujud keindahan
cinta yang semu namun agung , nyata namun juga penuh nestapa.
Senandung catatan hati itu -begitu lincah; serta mengalir dikedalam
hati setiap orang yang membacanya ,walau sekiranya syair-syair itu
harus merangkak dalam selubung kegelapan !."
***
“Duhai Tiara Putri jiwaku, disaat bathin ini menari
diujung kegelisahan malam, saat kepingan dusta mengalir diantara dua
tepian hati, kuingin serpihan bunga-bunga kejujuran hati menjerihkan
airnya”.
“Bila bahtera telah membawa letihnya menuju lautan
pasang, kini tiba saatnya tuk mengalirkan genang airmata jiwamu yang
tertambat, dengan membawa kemurnian cinta yang dulu pernah kau beri
untukku, sebentuk cinta nan tulus tanpa sedikitpun keraguan”
Mendengar Satria menyandungkan bait syair yang sedemikian indah- Tiara pun tak mau kalah untuk ikut bersyair.
“Saat cinta berkunjung ,aku tak tahu harus berbuat
apa....Dialah si-Jiwa misterius , yang terus menghantui dan selalu
bernyanyi bagi jiwa sepiku. Ia setia melantunkan senandung surgawi
didepan pintu jiwaku, walau dia tahu pintu itu takkan kubuka untuknya,
dengan ketulusan hati, ia membacakan syair cantiknya sebelum ku
tertidur...
'Wahai kupu cintaku...syair-syair cinta telah pergi
dan berlalu dari taman hatiku. Tapi aku masih tak tahu apa sesungguhnya
cinta itu.'
"Ketika kau datang membawakan sekuntum bunga, aku
kira itulah cinta. Ternyata salah. Aku rasa kau hanya bermaksud
menitipkan sekuntum mawar yang terjatuh dari gerobak seorang petani
bunga yang tak sengaja melintas didepanmu.”
'Dari kebingunganku itu, aku ingin engkau percaya
dan menyakini, bahwa dirimu tetap tinggal dihatiku dan aku tak dapat
begitu saja memusnahkan kau dari jiwaku, kau telah menggengam hatiku
dan engkau telah menenggelamkan perasaanku dilautan yang tak bertepi
dan tak berbatas'
‘Duhai Satria kekasih hatiku, dirimu selalu
kukenang, wujudmu tetaplah abadi. Walau engkau tahu hati ini sempat
tertambat dengan hati yang lain, kuharap engkau takkan pernah kecewa,
maka maafkanlah aku dan selamilah nestapa cintaku, dapatkah kau rasakan
perasaan seorang gadis yang terperangkap dari seorang lelaki yang
mengasihi dan lelaki lain yang mencintainya?!'
"Duhai pelangi, kadang aku mengharap jendela kamar
ini ditebali dan diselubungi debu pekat agar cahaya mataku tak terlihat
orang-orang yang melintas didepannya. Aku tak ingin menciptakan luka
pada setiap jiwa-yang ingin sekedar mampir menghampiri jendela itu,
seraya mengulurkan sesuatu yang membesarkan hatiku, tanpa tersadar aku
telah memulai menghiasi matahatinya dengan kekecewaan, dengan lirih
dan suara yang bergetar kuharap semilir angin akan mengabarkan semua
rahasia hatiku padamu....."
“Wahai Satria, seorang Raja diraja tak bermahkota
dari kerajaan jiwaku. Beruntunglah engkau karena dengan tangan
kesederhanaanmu, engkau bisa menyentuh segala sudut tepian langit.
Celakalah aku yang hidup dalam kurungan istana nan sempurna. Dengan
kamar-kamar mewah dan pelayan-pelayan setianya yang penuh pujian kosong
serta sanjung puji bangsawan-bangsawan kaya- yang dari balik topengnya
mengutuk ibuku karena melahirkan bayi perempuan, bukan lelaki.
Menjilat tapak kaki Singasana kebesaran Ayahandaku tuk sekedar
mendapatkan lebih luas lagi wilayah kekuasaan.”
“Atau tiada hari yang kulewati selain jamuan mewah
yang penuh canda tawa kepalsuan. Menampilkan kecantikanku laksana
manik-manik dan menjadikan ku sebagai hiasan diplomasi Ayahahandaku
atas kepentingan politiknya terhadap bangsawan-bangsawan terhormat”.
“Dari pesta-pesta itu, tak kupungkiri banyak
pangeran tampan yang menghampiriku, dengan berbagai kemulian dan
kecerdasannya, namun demikian; tak sedikit pun dari mereka yang
menarik hatiku. Aku bisa membedakan mana kumbang sejati- mana yang
bukan. Lelaki mana yang mandiri, lelaki manja mana yang selalu
berlindung dibalik nama besar keluarganya”.
“Kulihat dari segala kemewahan dan kemuliannya,
setiap hasrat dan kehendak nafsu , dengan mudahnya mereka dapatkan.
Kelopak bunga mana yang takkan luluh, ketika sebuah tangan mulia
berusaha memetik suatu bunga atau mungkin banyak bunga. Dibalik
kemulian-kemulian itu, kulihat ular melilit dipagar mewahnya, dan
bisanya mengotori sebagian jubah kehormatannya”.
“Dengan perjamuan mewah, mereka undang gadis-gadis
untuk mereka pilih. Apabila mereka tak suka atau telah bosan terhadap
bunga-bunga yang telah ada dalam genggamannya , maka mereka akan
mencampakkan bunga itu seperti ilalang”. “Dunia bisa membeli
kecantikan, tapi dapatkah dunia membeli cinta dalam hati?!”
“Cinta tak pernah membudak dan tak pernah bertuan.
Cinta bagaikan udara yang dapat dihirup oleh siapa saja yang mampu
bernafas. Saat aku dan dirimu tenggelam dalam cawan cinta. Saat dua
jiwa terapung dalam kesetiaan, mari teguhkan rasa ini bersama. Semoga
saja keperihan hati yang dibawanya kan sirna, lalu terbang menjulang
tinggi diawan hingga membawa kebaikan yang kan tercurah kedalam hati”.
“Wahai Satria, rayuan adalah suatu warna dalam cinta
namun ada dinding dimana warna itu bersandar. Dan dinding itu adalah
kecocokan, tanpa dinding itu tak ada gunanya segala sanjung puji.
Apabila aku pernah tertawan sangkar cinta selain dirimu, aku melihatnya
sebagai tuntutan tugas kenegaraan yang mesti ku emban; dan itu
bukanlah Cinta.”
“Sanggupkah keindahan dunia fana menggantikan hati
yang terluka akibat cinta?. Mungkinkah gemerlap emas dan permata
menggantikan cahaya cinta yang bersinar terang didalam hati?. Dapatkah
kau patahkan jeruji hati untuk melepaskan penghuninya dari penjara
cinta?. Dan sanggupkah kebisingan pesta menenangkan hati Sang pecinta
selain menambah kesunyian dan ketersendiriannya?”
“Begitu juga halnya Cinta, tidaklah cukup hanya
dengan kata-kata nan indah, cinta bukan pula sekedar buaian lepas
menuju peraduan, Cinta merupakan perahu pemahaman yang hendak bersandar
diantara pantai kedua jiwa.. Sebuah penyelaman samudera jiwa yang
kelak mengundang seulas senyum bahagia ataupun deraian airmata.”
“Dalam meraih sebuah ikatan cinta tidaklah semudah
membalikkan sebuah telapak tangan. Kelabilan masa belia bagaikan
setangkai mawar yang mudah tersapu angin. Dari kelabilannya itu, sang
mawar hendak merekahkan kesempurnaan diri guna menghadapi rintangan dan
godaan yang kan datang”.
“Pada kenyataannya, walaupun sekiranya sempat ada
pria lain disisiku, itu semata karena aku dijodohkan oleh kedua orang
tuaku. Ketahuilah Satria kita tidak mencari kekuatan kebahagiaan atau
kesengsaraan, melainkan atas keagungan Cinta ia menghampiri diri tanpa
diundang. Kita tak mencari api, tapi bara api mendekati hati, kemudian
hati sang pecinta terbakar olehnya.
“Cinta bagai Pohon kerinduan. Semakin dalam hasrat
merindu semakin masak buah cinta itu. Cinta dicari adalah bagi mereka
yang menempatkannya dalam keranjang nafsu dan bukan dari lubuk hati
mereka.”
“Tentang derita cinta adalah keserakahan nafsu akan
keberadaan hingga dia pergi pada kekecewaan akibat tak terpuaskan
egomu, cintailah perasaanmu maka kau akan mengerti. Dari permasalahan
yang mungkin pernah terjadi; dari semua puing kesedihan yang mungkin
tersisa; semoga dapat menjadi penopang raga; yang menjadi cahaya kasih,
embun penyejuk dan hikmah bagi jiwa. Sebuah batu sandungan yang meski
dilalui, agar kita terlatih dan kuat guna menapak jejak dimasa kan
datang ”. tutur Tiara.
“Demi perlintasan bulan dan bintang , janganlah
mencari cinta yang lain darinya, biarkan sang lebah tuk sejenak
kembangkan sayap- tuk terbang lebih tinggi! “ sambung Satria,
“Tahukah kau Tiara, kehidupan semesta ini dibangun
dan diasuh atas nama cinta. Dapatkah kau rasakan penderitaan seekor
merpati yang terkurung dalam sangkar emasnya lalu mendapati
sayap-sayapnya telah patah, telah tersadar ia dari sesalnya memalingkan
muka dari cinta sejati, sebagai anugerah Sang Pencipta, lalu mendapati
tubuhnya telah dibeli oleh harta namun tidak bagi jiwanya.”
“Renungkanlah kasih, jangan kau silaukan matamu dan
menitipkan jiwamu terhadap hal-hal keduniawian, karena itu tidaklah
abadi. Lihatlah penciptaan anak-anak adam, bukankah mereka begitu murni
?!, hingga dunia membekap mereka dengan nilai dan aturan-aturan sesat
yang mereka buat sendiri, hingga membelenggu sayap-sayap bebas mereka
dan memaksa jiwa mereka merayap diatas permukaan tanah”
“Berjanjilah untukku, tunggulah barang sejenak,
jangan sampai ada permata yang menodai kesucian cinta, sebelum ada
sebuah ikatan yang pasti.
“Jikalau telah tiba waktu yang dinanti, kupasti
hadir tuk bahagiakan dirimu seorang, kuharap adinda sabar menunggu.
Berilah aku masa tuk wujudkan segala, ikrar ini terucap padamu dan
takkan pernah ku lupa, janganlah berikan sebuah harapan, apabila Adinda
tak sayang padaku, berilah aku jawaban untuk pegangan hidupku !.”
“Atau bila saatnya nanti tak ada kecocokan jiwa,
bolehkah aku mengabdikan jiwaku untukmu?. Biarkanlah aku selalu
berpuisi tentang Cinta, karena dengannya jiwaku menjadi teduh dengannya
jiwaku bernyanyi.”
“Saat jerit suara hati mengalunkan lagu kepedihan
jiwa, mohon kiranya engkau tinggal sejenak tuk menemani airmataku, tuk
teteskan airmata dari kain keberadaannya. Rajutlah kain kesedihan ini ,
dengan kasih yang kau tenun dengan benang jiwamu”
“Wahai kekasih hati, Cinta yang kubawa padamu adalah
kekuatan untuk memberi, tanpa aku harus menerima. Kekuatan yang
mengikatku untuk terus bersamamu, walau sekiranya tidaklah mudah bagi
raga tuk bersatu, namun senantiasa jiwa kita kan bersama, itulah
hakikat cintaku - tulus dan apa adanya!”
“Wahai angin, saat kau sebar benih anggun jiwanya
dengan melodi syahdu kelembutan hati, aku disini terdiam terpana. Aku
tiada menuai sedikitpun buah cinta dari benih-benih yang kutebarkan
diladang jiwa.”
“Janganlah berkata seperti itu wahai Satria”, tutur
Tiara. Kemudian ia melanjutkan, “Cinta adalah sebuah menara kekuatan,
walau jiwa kita harus mandi dalam kobaran api namun hanya dengan jemari
keagungannyalah kita mampu bertahan. Karena ia adalah perwujudan
kekuatan Ilahi, yang bersemayam dari hati yang tulus, hingga tidak ada
kekuatan yang dapat menggantikannya selain kekuatan Cinta”
Duhai kekasih hanya karena Cinta kita mampu
bertahan. Berjanji dan teguhkanlah hati dan jiwa , tuk dapat lewati
aral rintang ini bersama!”
Langit ternyata belum berkehendak kepada kedua
pecinta untuk berlama-lama dalam sebuah pertemuan suci. Ketika tengah
asik berduaan menikmati suasana yang mesra , tiba-tiba terdengar suara
gaduh diluar ruangan. Para dayang menjerit histeris tampak mereka
sedang berusaha menghalangi beberapa prajurit yang memaksa masuk.
Terdengar suara derap kaki , desing tameng dan senjata memecah
keheningan malam.
Kedua pecinta saling memandang dan terperangah
kaget, mereka beranjak dari tempat duduk mereka. Lalu bersama-sama
menuju tirai, dua pasang kelopak hati mengintip keluar melihat dengan
seksama tentang apa yang tengah terjadi. Tampaklah sekelompok prajurit
Ansaria bak barisan semut, sedang mendekati mereka dengan langkah tegap
disertai sikap kedisiplinannya yang tegas.
“Dimana pemuda itu?, berani benar ia mempermainkan
kami, dimana ia sekarang berada biar kami ringkus segera !”, kata
pemimpin prajurit terhadap dayang-dayang. Satria melihat wajah Tiara
menjadi pucat dan khawatir. Dan Satria telah mencium bahaya yang
mengancam diri dan kekasihnya. Tak lama berselang, Tiara Sang Putri Raja
keluar dari ruangan, dan berkata pada prajurit yang menjemputnya,
“Hei, prajurit ! , apa yang kalian sedang lakukan
disini, ketajaman duri apa gerangan yang hendak kalian cari dalam
gundukan jerami ?” Tanya Tiara dengan suara lantang. Pemimpin prajurit
maju, menghaturkan sembah kepada Sang Putri.
“Yang Mulia Putri Tiara, hamba hendak meringkus
seorang penyusup yang masuk kedalam rumah peristirahatan ini, konon ia
berbahaya dan licin seperti ular ”, kata pemimpin pasukan.
“Wahai panglima, siapa yang kau sebut sebagai
penyusup itu?!, bila kau sebut dia ular maka ia memiliki nama!” Tanya
Tiara dengan geram. Sementara itu Satria semakin waspada dan bersiaga
untuk menerima isyarat menghindar dari Tiara.
“Yang hamba maksud, wahai puteri Tiara, adalah
Satria ibn Syahbana. Dia orang yang sangat berbahaya dan Sri Baginda
Raja Nalendra telah memerintahkan hamba untuk menangkapnya,” ucap
pemimpin pasukan.
“Dari siapa Ayahanda mengetahui bahwa diruanganku
ini ada pemuda bernama Satria?!, bisakah ia bedakan antara keindahan
warna kupu-kupu dan sisik ular ?!” Tanya Tiara. “Sri Baginda mendapat
laporan tersebut dari paman Tuan Putri, begitu juga dengan desir angin
serta jejak rerumputan telah mengabarkan keberadannya disini ”, kata
pemimpin pasukan.
“Ah, lagi-lagi pamanku itu !, aku rasa dengan
sengaja ia hendak menyudutkan dan melemparku dalam genangan minyak agar
dengannya, Ayahanda membakarku dengan kemarahannya!” kata Sang Putri.
“Padahal bisikan madunya belum tentu benar semua!”…”Hei, rasanya aku
baru pertama kali melihat tuan, siapakah sebenarnya tuan?!”
Pemimpin pasukan menghaturkan sembahnya lagi. “Tuan
Puteri tentu anda tidak mengenal hamba. Karena hamba baru saja diangkat
sebagai Panglima perang Kerajaan Ansaria !, nama hamba Jayakesna.
Mohon maaf sekiranya kedatangan hamba membuat Tuan Puteri merasa tidak
nyaman. Maafkanlah atas kelancangan kami semua, yang membuat gerah
rumput dan bunga ditaman. Namun hamba sekedar melaksanakan tugas yang
mesti hamba emban, maka ijinkanlah hamba untuk memeriksa ruangan
ini!”….
”Mudah-mudahan Anda tidak mempersulit tugas kami,
karena hamba tidak akan kembali keistana dengan tangan hampa, bila
manusia dipegang kata-katanya maka kehandalan seorang prajurit dilihat
dari keberhasilannya ! ”.
‘Panglima Jayakesna, disini sekarang memang ada orang asing. Tapi dia adalah tamuku, keselamatannya ada ditanganku !”
“Tuan Puteri, paman Anda menerangkan bahwa tamu Tuan
Puteri adalah penjahat yang berbahaya, ia dicurigai membawa bisa yang
amat mematikan dan kami mesti bertindak serta menangkapnya secepat
mungkin demi keamanan dan keselamatan Tuan Puteri !”
“Panglima Jayakesna, engkau telah membuat kesalahan yang sulit kuampuni!”…
”Maksud Tuan Putri?!”….
“Pertama-tama kau telah masuk keruangan ini tanpa
seijinku, dan kesalahan terbesar kedua engkau telah membikin gaduh
dengan berlaku kasar terhadap dayang-dayangku!”
“Maafkan hamba Tuan Puteri ,didalam menjalankan
tugas kami dituntut untuk bertindak cepat ,tegas dan tanpa pandang
bulu. Sri Baginda membebaskan dan membenarkan segala tindakan kami
didalam bertindak -baik dengan bijak atau dengan cara-cara kasar
sekalipun”
“Aku menghargai segala daya upaya kalian semua,
namun dapatkah kalian bertindak layaknya seorang ksatria yang
terhormat?!”…..”Dapatkah kau menyatukan tindakan dan kehormatan seiring
sejalan dengan tindakan yang kau laksanakan?!….Janganlah merasa
sebagai abdi yang paling setia terhadap Raja, bila kesetiaanmu tak
mampu menjaga martabat seorang putri Raja dihadapan tamunya!”
“Maafkan hamba Tuan Puteri !”.sapa Panglima dengan halus
“Panglima Jayakesna yang terhormat,, tanpa disertai
para prajuritmupun kalian akan mampu menangkap orang yang tuan maksud.
Seorang yang kalian sebut penyusup yang kini menjadi tamuku, seseorang
yang kuhormati dengan segala kemuliaanku !”.
“Demi menjaga martabatku, simpananlah kembali
pedang-pedang kematian itu kedalam sarungnya, kemudian datanglah menuju
alun-alun utara malam ini juga. Maka insya allah akan kuminta agar ia
menemuimu disana !. Saya harap Anda memiliki sedikit kesabaran, karena
aku tak ingin ada setitik darahpun menetes diruangan ini! . Dan ini
merupakan sebuah titah dari seorang Puteri Raja, kuharap panglima bisa
menerimanya dengan lapang dan bijaksana ! ”
Mendengar kata-kata pedas yang terlontar dari bibir
Sang Puteri Raja, membuat wajah panglima Jaykesna menjadi merah padam.
Kemudian ia berkata pada sang puteri,
“Apakah Tuan Puteri menjamin, ia akan menemui saya?!, bagaimana kalau ia kabur, sementara saya menunggu?”
“Aku bertanggung jawab, dan aku bersedia menjadi gantinya kalau dia melarikan diri !”
“Baiklah, kalau itu merupakan keinginan Tuan Puteri.
Hamba menghormatinya dan hamba mengharap Tuan Puteri menghargai
keputusan Hamba dengan menjunjung sebuah kehormatan dan kepercayaan
yang hamba berikan, yakni dengan menepati segala janji yang terucap
oleh Tuan Puteri ”…sambil menghela nafas kemudian ia berujar, ’Hamba
menunggunya dialun-alun istana sesaat lagi!’. Panglima Jayakesna lalu
memutar tubuh dan meninggalkan puteri. Entah karena tersinggung atau
lupa, ia sengaja tak menghaturkan sembah untuk kembali kepada
pasukannya, kemudian ia meninggalkan Sang Puteri diikuti oleh
pasukannya.
Puteri Tiara menghampiri Satria, “Tak usah khawatir,
kau tak perlu memenuhi tuntutan panglima, lagipula aku tak ingin
engkau celaka!. Engkau bisa lolos dari hadangan mereka melalui
terowongan rahasia yang berada dilantai bawah ruangan ini. Dengan
mengikuti jalurnnya engkau akan selamat menuju dinding luar istana. Ayo
ikuti aku, akan kutunjuki terowongannya !”
“Bagaimana dengan Anda Tuan Puteri, bagaimana nanti
dengan keselamatan Anda?!.Bilakah Sri Baginda murka terhadap anaknya
sendiri ?!”
“Tak usah khawatir , engkau bukan perampok atau
pemberontak !. Lagipula ayahku seorang yang arif dan bijaksana, ia tak
pernah sekalipun membuat Puterinya menitikkan airmata. Ia teramat
sayang dan segala perhatiannya hanya tercurah untukku seorang, karena
hal itulah aku akan berusaha menyakinkan dirinya agar mau sependapat
denganku !”…”Tentang Panglima, tenanglah ia juga tidak akan dihukum
oleh Ayahandaku, karena aku akan membelanya juga. Sekarang lekaslah
engkau meninggalkan tempat ini, kudamu telah disiapkan. Percayalah
segalanya akan baik-baik saja !.”
“Tapi bagaimana dengan janjimu?, janji tetaplah
janji dan harus ditepati, karena apabila engkau sengaja melanggarnya
maka hal itu akan menodai kemuliaanmu !”
“Aku hanya membela Cinta, sesuatu yang aku anggap
benar, apalah arti kemulian bila harus menebusnya dengan penghianatan,
darah dan airmata ?, aku takkan rela kebenaran itu dilibas oleh
kebenaran lainnya dengan cara yang tak lazim. Aku rela berkorban demi
Cinta dan ini juga demi kebaikan bersama!”..”Satria !, berjanjilah
untukku bahwa engkau akan segera pulang dan kembali kerumah dalam
kondisi baik-baik, Aku tak ingin sesuatu terjadi pada dirimu
!”.”Hindari pertumpahan darah. Karena bagaimanapun juga, kita semua
adalah keluarga besar dari Kerajaan Ansaria, kita semua memiliki
pertalian bathin dan kita semua bersaudara !”
“Baiklah, aku akan memegang teguh pesan-pesan
persaudaraanmu. Namun aku akan tetap menemui panglima sebagai rasa
tanggung jawabku padamu dan juga dirinya. Aku akan berusaha untuk
menghindari segala kemungkinan terjadinya sebuah pertikaian !”..sambil
mengecup kening Tiara, sebagai tanda perpisahan, Satria berkata ”Jaga
dirimu baik-baik , berdamailah selalu dengan Ayahanda !”
Pergilah Satria meninggalkan istana melalui sebuah
terowongan bawah tanah. Sesampainya diujung gerbangnya Satria terkejut
karena sekelompok pasukan telah menantinya disana. Salah seorang
pemimpin prajurit menghunuskan pedangnya lalu menyerang Satria dengan
membabi buta.
Satria segera menyambutnya dengan ayunan
pedang.Bertarunglah mereka dengan sengit. Tampak ayunan pedang saling
berbenturan keras, memancarkan bunga api .Lenguhan nafas dari para
petarung memecah kesunyian. Dalam gulungan debu mereka saling mengelak,
menyerang dan menangkis. Satria bertarung laksana banteng yang
terluka, ia tampak lincah memainkan pedang dan tenaganya seakan tak
menyusut sedikitpun ketika meladeni musuhnya. Tak lama kemudian Satria
berhasil mendesak lawannya, musuhnya tersungkur dan pedang terlepas
dari tangannya, lalu Satria menghampiri prajurit itu sambil menempelkan
mata pedang dileher calon korbannya ia berkata, “Aku bukan musuhmu,
aku kesini membawa pesan perdamaian …perintahkan kesepuluh anak buahmu
untuk mundur dari barisan pertahanan dan biarkan aku lewat. Karena aku
akan menemui Panglima perang kalian dialun-alun utara sekarang !”
Sambil melambaikan tangannya sebagai isyarat,
pemimpin pasukan itu berkata. “Singkirkan semua penghalang, biarkan ia
lewat !”. Tak berapa lama, pasukan yang tadinya bergerombol dan siap
menyerang akhirnya mengurungkan niatnya, lalu membiarkan Satria
melintas dengan perasaan geram.
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Beny Hidayat
Karya : Hartono Beny Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar