Jumat, 16 November 2012

Bab 3

Begitu banyak pergantian musim telah dilewati Satria, namun tanpa kehadiran Cinta; daun-daun harapannya helai demi helai jatuh berguguran, kuncup kebahagiaan tak lagi mau merekah, sebab cahaya kehidupannya telah lama tertutup mendung.
Cinta adalah buah perwujudan perasaan kasih yang tak mungkin dapat disembunyikan dari pohon induknya. Bagaikan musim semi, bunga-bunga cinta itu semakin merekah memenuhi taman-taman hati.


Siapakah yang yang dapat menyembunyikan rasa cinta dari hati seolah tak ada apa-apa yang terjadi pada dirinya selain ungkapan rindu ingin berjumpa?.

Seorang penyair akan menyatakan cintanya pada dunia. Dalam ketulusan jiwa ia rela terluka ataupun berkalang tanah untuk memuji dan membela kekasih hati dari orang-orang yang mencelanya. Kerumunan orang yang tak sengaja mendengarkan senandung rintihan hati sang penyair, akan ikut menangis bersama , seakan ikut menyelami palung kepedihan sang penyair yang cintanya terpasung dalam samudera keputusasaan.

Hubungan penyair dengan perempuan yang dikasihi terkadang membawa bara api perselisihan dan pertengkaran dengan keluarga kekasihnya. Mendapat luka akibat tertusuk panah beracun bisa dicari obat penawarnya,  namun bila luka itu  menanggung racun malu dan aib hendak kemana obat dicari; sejak saat itu laksana tubuh yang terpenjara kedua pecinta tak lagi leluasa untuk saling bersua,  banyak mata telah mengawasinya dan kini si gadis telah terkurung rapat dalam sangkar emasnya .

Disaat kekuatan cinta telah memenjarakan hati,  dan jarak telah memisahkan keduanya , ditempat kesunyian jiwa seperti itulah,  akal dan perasaan  yang berwujud bahasa hati;  akan berbicara dengan hati lainnya.

Malam nan pekat boleh saja menyembunyikan pepohonan dan bunga ,
namun kegelapan tidak akan menyembunyikan dirinya dari jiwaku
Tiara boleh saja dikurung dalam sangkar emasnya,
Namun ku kan selalu menemani mimpi-mimpi  dan keterjagaannya
ditiap pergantian malam
Diruang istana,  Tiara- sang putri raja masih saja merenung , ia terus-menerus memikirkan hikmah dibalik semua perjumpaan serta mimpi-mimpinya, jemari kerinduan telah menggadaikan hati dan jiwanya, raganya telah teracuni madu cinta, sehingga wajahnya yang putih kini memucat pasi dan cahaya matanya-pun perlahan meredup laksana  kegelisahan bulan dikala malam  serta laksana  kesedihan matahari diwaktu siang , sambil bersyair ia menuliskan suara hatinya pada secarik kertas.
“Wahai Pencuri hati, datanglah padaku ! ,
Tidakkah kau dengar rintih kerinduanku dikala malam?
Sampai kapan meski kutanggung derita ini,
Memanggul beban dunia - saat letih memanggil, masih bisa kubesandar,
Namun bila beban itu beban bathiniyah, meski kemana aku menyandar ?”
“Duhai kekasih , merindumu membuatku laksana kapal yang kehilangan arah, tenggelam dalam gelombang pusara Cinta, kini kekuatan kemudiku menjadi goyah, pandanganku menjadi kabur dan pendengaranku menjadi lemah.”….“Apabila  engkau menganggap cinta itu pembebas, katakanlah padaku, dimanakah aku bisa dapatkan cinta seperti itu?”
“Kini hatiku  tertawan oleh jaring-jaring cinta yang kau tebarkan kedalam hatiku, perlahan dan pasti engkau menghujam hatiku dengan busur panah cintamu- dengan itu semua ; tanpa memberikan obat atas luka-luka ku itu, kemudian engkau menghilangkan diri.”
“Bila air sungai kelak bermuara kelautan, sedang jiwaku hendak kemana ia berlabuh?
Oh, betapa pahitnya derita yang kini kutanggung !, sudikah kiranya  engkau memikul beban derita ini  bersama ? “
Begitulah adanya sebuah gambaran penderitaan Cinta dan bukanlah sebuah pasangan jiwa, jika sang pemuda tidak merasakan penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh belahan hatinya, Ia pun berprilaku sama seperti yang dilakukan sang terkasih.
Sering pula ia berbicara pada bunga-bunga ditaman atau berlari menuju puncak berbukitan, sambil membicarakan perihal ratapan dan kesedihan hatinya terhadap sang pujaan. Berbagai tingkah aneh tersebut seakan mencerminkan -tidak adanya seorang manusiapun yang peduli terhadap permasalahannya .
Dunia dimana ia bernaung seakan menjadi sesuatu yang asing baginya, kini kehidupannya menjadi tak teratur, penuh nelangsa tanpa seseorangpun yang peduli terhadapnya. Badannya tampak kurus dan bajau dan rambutnya tampak kumal laksana dedaunan termakan ulat-ulat kesedihan.
Namun demikian, cinta yang merasukinya telah memberinya kekuatan untuk menghadapi segala cobaan dan musibah yang bertubi menghampirinya.
Tiada hari yang berlalu dari kehidupannya yang nelangsa selain lamunan indah tentang kekasih, tidak pula ada waktu yang dihabiskan selain menuliskan syair-syair  yang berisi ratap kesedihan maupun pujian .
Airmata keputusasaan jatuh berderai dari pipinya seakan-akan hendak berbicara dengan hati lainnya, laksana sebuah genangan air yang menjadi kaca pemantul bagi kebahagian dan juga penderitaan hatinya.
“Duhai cinta”,  katanya ….”Dalam ketersendirianku yang mencekam, laksana langit  yang tak pernah mengenal bintang -gemintang,  aku terkurung sepi dalam kehampaan. Sejak dirimu hadir dalam mimpi-mimpi malamku , jiwaku terguncang dengan hebatnya, seakan akal sehat ku telah hilang akibat memikirkan dirimu.  Engkaulah keindahan yang telah membuatku selalu terjaga, sentuhan jemari kerinduanmu yang berapi -telah membangkitkan dan membuat jiwaku terbakar dalam tungku bara api keabadian“.
.“Duhai Tiara!….Demi cintaku padamu aku rela dianggap gila, demi berjumpa denganmu aku rela menyusuri bebukitan,  menerjang badai dan menahan petaka.” …”Tak pernah aku merasa letih dalam harap, dan tak pernah aku merasa jemu menggubah syair-syair keriduanku untukmu ”
“ Ketika jaring-jaring cinta menyulam ruang hati, menembus bilik keberadaan,
membuncah kesunyian, menghenyak  keheningan, menggetar lautan,
terjaga  Sang jiwa dalam titian siang dan malam”
“ Disaat panah-panah cinta datang menyambut,
Aku relakan hati ini berdarah, Ku relakan hati ini terluka,
Aku binasa, Maka kematianku adalah suka-cita, Tangisku adalah  mata air dahaga.

Bulan begitu cantik dalam naungan bintang-bintang, langit tampak begitu cerah; secerah hati kedua pecinta. Sebuah keindahan malam yang mengilhami Satria untuk menemui Tiara. Sembari melantunkan syair Satria berjalan menyusuri jalan kampung yang berliku menerabas  hutan dan mengarungi sungai. Apapun rintangan yang menghadang, dengan sukarela ia taklukkan demi berjumpa dengan kekasih hati.
Seakan tidak pernah kehabisan akal, sang pecinta selalu saja mendapatkan  jalan untuk bisa bersua untuk sang kekasih pujaan hati, meskipun didepannya menghadang berbagai aral serta rintangan , apalah daya tabir dan penjaga yang bersenjata serta tembok nan tinggi lagi kokoh, semua pastilah kan menjadi sia-sia belaka. Laksana pasir atau debu yang terbang berserak tertiup angin,  semua pembatas-pembatas tersebut menjadi luruh tak berdaya seiring dengan bangkitnya rasa cinta  yang hangat dari dalam kalbu kedua pecinta.
Satriapun berjalan menyusuri kegelapan dengan keyakinan dan semangat yang tinggi seolah ada sepasang sayap yang menghantarnya pada sang terkasih.
Setelah sampai didekat alun-alun istana, Satria memperlambat langkahnya terlihat beberapa pengawal sedang berkeliling menjaga tiap sudut bangunan istana. Sambil mengendap-endap, ia menyusup memasuki sebuah taman- yang tepat berada didepan kamar sang Putri. Diatas balkon istana Sang Putri terlihat menunggu dalam kegelisahan, tampak rambut panjangnya terurai diterpai semilir angin dan terlihat pula sepasang matanya yang indah berkaca-kaca dalam keharuan,…
“ Duhai betapa cantiknya ia” , bisik hati kecil Satria. Bulir airmata keharuan tampak menitik dari kelopak mata Sang dewi , seakan hendak berkata agar malam ini menjadi  malam yang abadi, sebuah malam pertemuan  yang tak berpisah untuk selamanya. Tak rela bila kekasihnya menangis, kemudian Satria bersyair  untuk menenteramkan hati sang terkasih :
Duhai bulan dan bintang masih adakah senyum dihatimu?
Adakah gerangan nestapa dihatimu kini?…
“Duhai cinta yang terbakar...Bakarlah gelora hati dalam jiwa hingga berabu”...
“ Menangislah jika harus menangis ....Maka tangismu laksana lautan tinta kasih,  yang mengisi mata penanya dengan senandung harapan- akan cinta dan  anugerah “...
“Tiap usapan tangismu , baginya laksana tarian hati, tarian pena- yang bergerak dengan sendirinya pada secarik kertas keabadian “ ....
Setelah mendengar kata-kata Satria, sambil memalingkan wajah cantiknya- Sang Putri mengusap bulir-bulir airmatanya yang terjatuh, kemudian dengan suara lirih dan penuh keharuan,  ia berkata :
“Kudapati Cinta merupakan yang wujud sekaligus ghaib,
Cinta adalah ramuan kesembuhan dan juga kematian” ...
“Bersama ketulusan hati , ia mengangkat , mengeringkan dan menyembuhkannya ,
atau bahkan melukainya kembali”...
Mendengar Tiara mengucapkan rangkaian syair nan menyentuh itu- Satria tersenyum, sambil memberi setangkai bunga mawar pada Tiara , kemudian Satria berkata :
“ Duhai Tiara !, Lihatlah batu ini dan lumut yang menutupinya, lebih baik bagimu  menjadi lumut yang tak memiliki langit tuk berteduh , daripada menjadi batu permata yang  sejak dari kelahirannya didekap keperkasaan gunung-gunung” .
“Apalah arti keindahan wujud baginya ?,  Dan apalah arti kemilau cantik bagi dirinya- bila ia sendiri tak pernah merasakan sentuhan sinar kasih  ataupun belaian lembut angin kehidupan “ . “Duhai kekasih hati, jangan pernah takut melangkah,  buanglah keraguan diri ; karena dalam wujud  cinta,  segala macam bentuk keraguan adalah dosa kasihku “.
“ Lihatlah lumut ini dan belajarlah darinya, tidakkah kau lihat bahwa batu dan lumut itu beda, tapi lihatlah ia dengan setianya mendekap sang batu. “ Bagi dirinya mencinta adalah sebentuk pelayanan, mencinta adalah sebuah kebutuhan, mencinta berarti menghidupkan cita dan harapan” .
“ Demi orang yang dicintainya, ia rela terterpa panas dan hujan. Ia menyakini bahwa  suatu waktu, sebongkah batu yang keras sekalipun- akan menjadi lunak karena sihir cinta”. “Apapun yang kau dengar tentang Cinta , apapun yang ingin  kau katakan tentang wujudnya, ketahuilah bahwa inti Cinta itu sendiri adalah sebuah rahasia yang tak pernah terungkapkan” .

****


www.duniasastra.com
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Beny Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar