Bab 3
Begitu banyak pergantian musim telah dilewati Satria, namun tanpa
kehadiran Cinta; daun-daun harapannya helai demi helai jatuh
berguguran, kuncup kebahagiaan tak lagi mau merekah, sebab cahaya
kehidupannya telah lama tertutup mendung.
Cinta adalah buah perwujudan perasaan kasih yang tak mungkin dapat
disembunyikan dari pohon induknya. Bagaikan musim semi, bunga-bunga
cinta itu semakin merekah memenuhi taman-taman hati.
Siapakah yang yang dapat menyembunyikan rasa cinta dari hati seolah
tak ada apa-apa yang terjadi pada dirinya selain ungkapan rindu ingin
berjumpa?.
Seorang penyair akan menyatakan cintanya pada dunia. Dalam ketulusan
jiwa ia rela terluka ataupun berkalang tanah untuk memuji dan membela
kekasih hati dari orang-orang yang mencelanya. Kerumunan orang yang tak
sengaja mendengarkan senandung rintihan hati sang penyair, akan ikut
menangis bersama , seakan ikut menyelami palung kepedihan sang penyair
yang cintanya terpasung dalam samudera keputusasaan.
Hubungan penyair dengan perempuan yang dikasihi terkadang membawa
bara api perselisihan dan pertengkaran dengan keluarga kekasihnya.
Mendapat luka akibat tertusuk panah beracun bisa dicari obat
penawarnya, namun bila luka itu menanggung racun malu dan aib hendak
kemana obat dicari; sejak saat itu laksana tubuh yang terpenjara kedua
pecinta tak lagi leluasa untuk saling bersua, banyak mata telah
mengawasinya dan kini si gadis telah terkurung rapat dalam sangkar
emasnya .
Disaat kekuatan cinta telah memenjarakan hati, dan jarak telah
memisahkan keduanya , ditempat kesunyian jiwa seperti itulah, akal dan
perasaan yang berwujud bahasa hati; akan berbicara dengan hati
lainnya.
Malam nan pekat boleh saja menyembunyikan pepohonan dan bunga ,
namun kegelapan tidak akan menyembunyikan dirinya dari jiwaku
Tiara boleh saja dikurung dalam sangkar emasnya,
Namun ku kan selalu menemani mimpi-mimpi dan keterjagaannya
ditiap pergantian malam
Diruang istana, Tiara- sang putri raja masih saja merenung , ia
terus-menerus memikirkan hikmah dibalik semua perjumpaan serta
mimpi-mimpinya, jemari kerinduan telah menggadaikan hati dan jiwanya,
raganya telah teracuni madu cinta, sehingga wajahnya yang putih kini
memucat pasi dan cahaya matanya-pun perlahan meredup laksana
kegelisahan bulan dikala malam serta laksana kesedihan matahari
diwaktu siang , sambil bersyair ia menuliskan suara hatinya pada
secarik kertas.
“Wahai Pencuri hati, datanglah padaku ! ,
Tidakkah kau dengar rintih kerinduanku dikala malam?
Sampai kapan meski kutanggung derita ini,
Memanggul beban dunia - saat letih memanggil, masih bisa kubesandar,
Namun bila beban itu beban bathiniyah, meski kemana aku menyandar ?”
“Duhai kekasih , merindumu membuatku laksana kapal yang kehilangan
arah, tenggelam dalam gelombang pusara Cinta, kini kekuatan kemudiku
menjadi goyah, pandanganku menjadi kabur dan pendengaranku menjadi
lemah.”….“Apabila engkau menganggap cinta itu pembebas, katakanlah
padaku, dimanakah aku bisa dapatkan cinta seperti itu?”
“Kini hatiku tertawan oleh jaring-jaring cinta yang kau tebarkan
kedalam hatiku, perlahan dan pasti engkau menghujam hatiku dengan busur
panah cintamu- dengan itu semua ; tanpa memberikan obat atas luka-luka
ku itu, kemudian engkau menghilangkan diri.”
“Bila air sungai kelak bermuara kelautan, sedang jiwaku hendak kemana ia berlabuh?
Oh, betapa pahitnya derita yang kini kutanggung !, sudikah kiranya engkau memikul beban derita ini bersama ? “
Begitulah adanya sebuah gambaran penderitaan Cinta dan bukanlah
sebuah pasangan jiwa, jika sang pemuda tidak merasakan penderitaan yang
sama seperti yang dialami oleh belahan hatinya, Ia pun berprilaku sama
seperti yang dilakukan sang terkasih.
Sering pula ia berbicara pada bunga-bunga ditaman atau berlari
menuju puncak berbukitan, sambil membicarakan perihal ratapan dan
kesedihan hatinya terhadap sang pujaan. Berbagai tingkah aneh tersebut
seakan mencerminkan -tidak adanya seorang manusiapun yang peduli
terhadap permasalahannya .
Dunia dimana ia bernaung seakan menjadi sesuatu yang asing baginya,
kini kehidupannya menjadi tak teratur, penuh nelangsa tanpa
seseorangpun yang peduli terhadapnya. Badannya tampak kurus dan bajau
dan rambutnya tampak kumal laksana dedaunan termakan ulat-ulat
kesedihan.
Namun demikian, cinta yang merasukinya telah memberinya kekuatan
untuk menghadapi segala cobaan dan musibah yang bertubi menghampirinya.
Tiada hari yang berlalu dari kehidupannya yang nelangsa selain
lamunan indah tentang kekasih, tidak pula ada waktu yang dihabiskan
selain menuliskan syair-syair yang berisi ratap kesedihan maupun
pujian .
Airmata keputusasaan jatuh berderai dari pipinya seakan-akan hendak
berbicara dengan hati lainnya, laksana sebuah genangan air yang menjadi
kaca pemantul bagi kebahagian dan juga penderitaan hatinya.
“Duhai cinta”, katanya ….”Dalam ketersendirianku yang mencekam,
laksana langit yang tak pernah mengenal bintang -gemintang, aku
terkurung sepi dalam kehampaan. Sejak dirimu hadir dalam mimpi-mimpi
malamku , jiwaku terguncang dengan hebatnya, seakan akal sehat ku telah
hilang akibat memikirkan dirimu. Engkaulah keindahan yang telah
membuatku selalu terjaga, sentuhan jemari kerinduanmu yang berapi
-telah membangkitkan dan membuat jiwaku terbakar dalam tungku bara api
keabadian“.
.“Duhai Tiara!….Demi cintaku padamu aku rela dianggap gila, demi
berjumpa denganmu aku rela menyusuri bebukitan, menerjang badai dan
menahan petaka.” …”Tak pernah aku merasa letih dalam harap, dan tak
pernah aku merasa jemu menggubah syair-syair keriduanku untukmu ”
“ Ketika jaring-jaring cinta menyulam ruang hati, menembus bilik keberadaan,
membuncah kesunyian, menghenyak keheningan, menggetar lautan,
terjaga Sang jiwa dalam titian siang dan malam”
“ Disaat panah-panah cinta datang menyambut,
Aku relakan hati ini berdarah, Ku relakan hati ini terluka,
Aku binasa, Maka kematianku adalah suka-cita, Tangisku adalah mata air dahaga.
Bulan begitu cantik dalam naungan bintang-bintang, langit tampak
begitu cerah; secerah hati kedua pecinta. Sebuah keindahan malam yang
mengilhami Satria untuk menemui Tiara. Sembari melantunkan syair Satria
berjalan menyusuri jalan kampung yang berliku menerabas hutan dan
mengarungi sungai. Apapun rintangan yang menghadang, dengan sukarela ia
taklukkan demi berjumpa dengan kekasih hati.
Seakan tidak pernah kehabisan akal, sang pecinta selalu saja
mendapatkan jalan untuk bisa bersua untuk sang kekasih pujaan hati,
meskipun didepannya menghadang berbagai aral serta rintangan , apalah
daya tabir dan penjaga yang bersenjata serta tembok nan tinggi lagi
kokoh, semua pastilah kan menjadi sia-sia belaka. Laksana pasir atau
debu yang terbang berserak tertiup angin, semua pembatas-pembatas
tersebut menjadi luruh tak berdaya seiring dengan bangkitnya rasa
cinta yang hangat dari dalam kalbu kedua pecinta.
Satriapun berjalan menyusuri kegelapan dengan keyakinan dan semangat
yang tinggi seolah ada sepasang sayap yang menghantarnya pada sang
terkasih.
Setelah sampai didekat alun-alun istana, Satria memperlambat
langkahnya terlihat beberapa pengawal sedang berkeliling menjaga tiap
sudut bangunan istana. Sambil mengendap-endap, ia menyusup memasuki
sebuah taman- yang tepat berada didepan kamar sang Putri. Diatas balkon
istana Sang Putri terlihat menunggu dalam kegelisahan, tampak rambut
panjangnya terurai diterpai semilir angin dan terlihat pula sepasang
matanya yang indah berkaca-kaca dalam keharuan,…
“ Duhai betapa cantiknya ia” , bisik hati kecil Satria. Bulir
airmata keharuan tampak menitik dari kelopak mata Sang dewi , seakan
hendak berkata agar malam ini menjadi malam yang abadi, sebuah malam
pertemuan yang tak berpisah untuk selamanya. Tak rela bila kekasihnya
menangis, kemudian Satria bersyair untuk menenteramkan hati sang
terkasih :
Duhai bulan dan bintang masih adakah senyum dihatimu?
Adakah gerangan nestapa dihatimu kini?…
“Duhai cinta yang terbakar...Bakarlah gelora hati dalam jiwa hingga berabu”...
“ Menangislah jika harus menangis ....Maka tangismu laksana lautan
tinta kasih, yang mengisi mata penanya dengan senandung harapan- akan
cinta dan anugerah “...
“Tiap usapan tangismu , baginya laksana tarian hati, tarian pena-
yang bergerak dengan sendirinya pada secarik kertas keabadian “ ....
Setelah mendengar kata-kata Satria, sambil memalingkan wajah
cantiknya- Sang Putri mengusap bulir-bulir airmatanya yang terjatuh,
kemudian dengan suara lirih dan penuh keharuan, ia berkata :
“Kudapati Cinta merupakan yang wujud sekaligus ghaib,
Cinta adalah ramuan kesembuhan dan juga kematian” ...
“Bersama ketulusan hati , ia mengangkat , mengeringkan dan menyembuhkannya ,
atau bahkan melukainya kembali”...
Mendengar Tiara mengucapkan rangkaian syair nan menyentuh itu-
Satria tersenyum, sambil memberi setangkai bunga mawar pada Tiara ,
kemudian Satria berkata :
“ Duhai Tiara !, Lihatlah batu ini dan lumut yang menutupinya, lebih
baik bagimu menjadi lumut yang tak memiliki langit tuk berteduh ,
daripada menjadi batu permata yang sejak dari kelahirannya didekap
keperkasaan gunung-gunung” .
“Apalah arti keindahan wujud baginya ?, Dan apalah arti kemilau
cantik bagi dirinya- bila ia sendiri tak pernah merasakan sentuhan
sinar kasih ataupun belaian lembut angin kehidupan “ . “Duhai kekasih
hati, jangan pernah takut melangkah, buanglah keraguan diri ; karena
dalam wujud cinta, segala macam bentuk keraguan adalah dosa kasihku
“.
“ Lihatlah lumut ini dan belajarlah darinya, tidakkah kau lihat
bahwa batu dan lumut itu beda, tapi lihatlah ia dengan setianya
mendekap sang batu. “ Bagi dirinya mencinta adalah sebentuk pelayanan,
mencinta adalah sebuah kebutuhan, mencinta berarti menghidupkan cita
dan harapan” .
“ Demi orang yang dicintainya, ia rela terterpa panas dan hujan. Ia
menyakini bahwa suatu waktu, sebongkah batu yang keras sekalipun- akan
menjadi lunak karena sihir cinta”. “Apapun yang kau dengar tentang
Cinta , apapun yang ingin kau katakan tentang wujudnya, ketahuilah
bahwa inti Cinta itu sendiri adalah sebuah rahasia yang tak pernah
terungkapkan” .
****
www.duniasastra.com
Roman Satria Tiara
Karya : Hartono Beny Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar